Hai semua! Bagi yang lagi visit blog ini atau baca post ini, boleh bantu aku gak? Tolong promosiin blog ini ya. Mmm... kan untung-untung bisa baca cerpen-cerpen dari penulis, gratis pula, hihihi.... Tinggal buka http://dis-stories.blogspot.com, terus muncul deh cerpen-cerpen yang bisa dibaca tanpa biaya^^
Tadi aku lagi milih-milih cerpen yang bisa aku post di blog. Tiba-tiba ngeliat cerpen ini. Aku sih nggak ingat aku buat cerpen ini waktu kapan. Yang jelas udah lama, ya. Hmmm, semoga suka dengan cerpen ini! Maaf jika ada kesalahan dalam penulisan kata, atau tertulis kata yang tidak pantas diucapkan di sini ;) Hope you like this, guys. \m/
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Spirit, Gwany!
Oleh: Dita Indah Syaharani
Gwanyzella Aston mengernyitkan dahi.
Soal ini sulit sekali, pikirnya. Arrgh! Aku pasti akan mendapat
nilai rendah dan diejek lagi oleh Si Lidah Tajam Anice itu. Sialan! Gwany
membayangkan wajah Anicia Marryn (Anice) yang sedang meledeknya habis-habisan.
Anice memang anak yang berlidah tajam. Dia
dijuluki Si Lidah Tajam oleh teman-temannya, juga Si Hati Busuk. Anice agaknya
memang cocok mendapatkan julukan tersebut. Dia selalu mengejek siapapun yang
lebih rendah darinya, tanpa memikirkan perasaan orang tersebut. Sungguh busuk
hati Anice!
Anice benci anak-anak malas dan bodoh. Dia
akan mengejek, menghina, dan berkata yang tidak-tidak mengenai anak yang
dibencinya.
Gwany menggigit pensilnya dengan geram.
“Apa yang kaulakukan, Gwany? Kerjakanlah soal
ulanganmu! Waktu mengerjakan tinggal lima menit lagi dan aku tidak ingin
melihat nilai burukmu lagi, Gwany. Kerjakan soalnya dengan baik!!” perintah
Nona Carton dengan suaranya yang lantang.
“Hahaha.. Nona Carton, dia tak akan mendapat
nilai baik. Aku yakin itu!” seru Anice merendahkan. “Benar, bukan, Gwany-ku
yang Malas?” Anice berpaling ke arah Gwany.
“Diam kau, Anice! Sudah kubilang! Jaga
mulutmu!” bentak Nona Carton yang paling malas terhadap anak yang suka
merendahkan anak lainnya.
“Hhhhh...,” desah Gwany.
Astaga! Lima menit lagi? Oh, Tuhan! Aku baru
mengerjakan sampai nomor dua puluh lima, sementara ada lima belas soal lagi
yang harus kukerjakan. Ah! Sial sekali!! Gwany cepat-cepat mengerjakan soal ulangannya. Begitu
terburu-buru dirinya sampai-sampai ia tidak sadar kalau ternyata ia kurang
teliti.
“Waktu habis! Segera kumpulkan!” seru Nona
Carton.
“Satu soal lagi,” kata Gwany pelan. Ia segera
menjawab soal tersebut dengan asal-asalan. “Kuharap nilaiku bisa lebih baik
lagi,” harapnya.
Gwany segera mengumpulkan soal ulangan yang
telah ia kerjakan dengan susah payah. Ketika ia mengumpulkan soal ulangannya di
meja Nona Carton, gurunya itu menatapnya dan berkata, “kuharap nilaimu baik.”
Nona Carton menyunggingkan senyum tipis.
“Mmmh... Aku tak.. ah, ya sudahlah.” Gwany
merasa gugup.
Bel istirahat berbunyi. Anak-anak kelas
5Awesome, 5Bravo, dan 5Clever keluar dari kelas mereka. Ada yang menuju kantin,
perpustakaan, halaman sekolah, lapangan, ruang musik, dan berbagai tempat
lainnya.
Gwany memasukkan alat-alat tulisnya.
“Melelahkan,” gumamnya. “Soal-soal itu sangat sulit. Aku tak yakin nilaiku akan
baik.”
“Oh... Tentu saja, Gwany-ku Sayang!” Anice
menatap Gwany dengan sinis. “Aku pun sangat tak yakin bahwa nilaimu akan baik.
Karena aku tahu bahwa kamu adalah anak yang malas dan.. bodoh, mungkin. Hahaha!
Malang sekali nasibmu, Sayang,” ujar Anice.
“Tak bisakah kaudiam?! Aku tidak mau kau hina
lagi. Aku begitu tersiksa. Kau tidak tahu apa yang kurasakan setiap kau
menghinaku. Coba kausadari, Anice!!!” bentak Gwany.
Ya ampun! Apa yang kukatakan tadi? pikirnya.
“Oh, Gwany Sayang.. maafkan aku. Tapi memang
nyatanya begitu, kan? Kau anak yang malas. Sehingga nilai yang kaudapat pun
rendah sekali. Aku yakin kau tak akan bisa mendapat nilai yang baik!” balas
Anice tak mau kalah.
“Aku bisa!” seru Gwany tidak terima.
“Mana buktinya?” Anice tampak meremehkan.
“Akan kubuktikan!” jawab Gwany. “Aku akan
bekerja keras. Aku akan buktikan padamu bahwa aku tidak seperti yang kaukatakan
selama ini!”
“Belajar ataupun tidak, nilaimu tetap saja
rendah. Hahaha! Tidak seperti aku, yang selalu mendapat peringkat tiga besar
walaupun tidak belajar,” kata Anice. Memang, dia termasuk anak yang pintar dan
selalu mendapat peringkat tiga besar. Tetapi di balik kepandaiannya,
sesungguhnya dia adalah orang yang tak punya hati.
Tanpa diduga, dari tadi Nona Carton
memperhatikan debat antara Gwany dan Anice itu.
“Anice! Aku tak suka sifatmu itu. Berapa kali
harus kukatakan, jangan pernah meremehkan dan menghina orang yang lebih rendah
darimu. Aku tahu kau pintar. Tapi kau tidak pantas berkata begitu!” kata Nona
Carton. “Kau tadi sudah melihat Gwany bertekad, dia akan membuktikan padamu
bahwa dia itu tak seperti yang kaukatakan. Dan aku yakin, Gwany bisa. Bahkan
menurut pandanganku, Gwany bisa lebih pandai darimu!”
Anice tertegun sesaat.
“Tapi, Nona...”
“Cukup! Sekarang, segeralah menghadap sekolah
dan katakan kepadanya bahwa aku ingin ia memberimu hukuman karena kau sering menghina
teman-teman yang lebih rendah darimu,” perintah Nona Carton.
“Ba.. baik, Nona Carton.”
Anice berlari menuju ruang kepala sekolah
dengan kepala tertunduk. Sungguh malu ia. Sesekali ia menggerutu kesal.
Di saat Anice menuju ke ruang kepala sekolah dengan
perasaan kesal, Gwany justru sangat senang karena Nona Carton begitu baik
padanya.
“Gwany... aku tahu, nilaimu tak begitu baik.
Tetapi, aku yakin kaubisa berubah. Kau janji akan menjalankan tekadmu dan
membuktikan pada orang lain bahwa kau anak yang pandai?” tanya Nona Carton
sambil berharap agak Gwany mengiyakan.
“Ya, tentu saja Nona Carton! Aku akan berusaha
keras. Aku ingin berubah. Aku tak ingin dipandang remeh oleh orang yang lebih
pandai dariku. Maafkan aku, Nona Carton, jika nilai ulanganku tadi belum baik.
Tapi aku janji, jika ada ulangan lagi, aku akan mendapat nilai yang baik!”
Gwany bertekad penuh.
“Oh, Gwany... aku yakin kaubisa!” Nona Carton
memberi semangat. “Umm.. Karena kau sudah bertekad begitu, sebagai hadiah, aku
akan memberimu es limun. Kebetulan aku membawanya dua dari rumah. Kau mau,
kan?”
“Wah, kalau Nona Carton tak keberatan, tentu
aku mau!” kata Gwany senang.
Nona Carton dan Gwany akhirnya minum es limun
bersama. Ah... segarnya. Terutama di saat musim panas begini.
--
Sekarang sudah waktunya pulang sekolah. Ah,
ya.. Tadi Nona Carton sudah mengumumkan nilai ulangan anak-anak kelas 5Bravo
tadi. Gwany benar-benar kecewa dengan nilainya. 35. Menyedihkan. Untung saja
Anice tak berkata apa-apa mengenai nilai Gwany itu.
“Minggu depan ada ulangan Sejarah. Oh, aku
harus belajar! Aku harus bisa mendapat nilai yang baik,” tekad Gwany.
Entah kenapa, Gwany jadi semangat sekali untuk
segera belajar. Ia ingin membuktikan kepada anak-anak kelas 5Bravo, bahwa ia
bisa dan ia pandai!
Gwany segera berlari menuju mobil ayahnya.
“Bagaimana harimu, Gwany Sayang?” tanya ayah.
“Kautahu? Aku tadi bertekad bahwa aku akan
bekerja keras supaya nilaiku baik. Aku ingin membuktikan kepada teman-temanku
bahwa aku bisa mendapat nilai yang baik. Ya, walau tadi saat ulangan
Matematika, aku hanya mendapat nilai 35. Aku sangat kecewa. Untung saja Anice
tidak meledekku lagi, karena tadi dia disuruh menghadap Nona Moryn, kepala
sekolah. Hihihi....” Gwany terkikik. “Ah... minggu depan ada ulangan Sejarah.
Dan aku ingin belajar dan belajar!”
Setiap pulang sekolah, Gwany selalu ditanya,
“bagaimana harimu, Gwany?” oleh ayah. Dan ia selalu menceritakan dengan lancar
apa yang ia alami di sekolahnya.
“Aku senang mendengarnya,” kata ayah sambil
mulai mengendarai mobil menuju rumah. “Tapi kau juga tidak boleh belajar
terus-menerus. Perlu kautahu, setiap lima belas menit belajar, harus diselingi
dengan... ya, sesuatu selain belajar. Mungkin, istirahat sejenak. Karena jika
kau terus belajar, bisa tumpul otakmu,” canda ayah.
“Hihihi... memangnya, bagaimana wujud otak
yang tumpul?” tanya Gwany terkikik.
“Entahlah. Aku belum pernah melihatnya,” jawab
ayah sambil tersenyum.
“Oh, Ayah.. apakah kau yakin, aku bisa
mendapat nilai baik jika aku belajar?” Gwany memastikan.”
“Tentu saja,” kata ayah. “Aku heran, mengapa
kau terlihat begitu semangat? Biasanya kau susah sekali disuruh belajar.”
“Ah... aku bosan, Ayah. Ternyata menjadi anak
yang malas itu sama sekali tidak ada ‘nikmat’-nya. Diejek oleh teman dan
ditegur oleh guru. Benar-benar menyedihkan,” terang Gwany.
“Bagus!”
“Bagus kenapa?” tanya Gwany heran.
“Kautelah menyadarinya. Memang benar. Menjadi
anak yang malas itu tidak enak sekali. Kita hanya bisa menahan malu apabila
diejek teman dan ditegur oleh guru,” jelas ayah.
Gwany mengangguk-angguk, tidak menjawab.
--
Sampai di rumah, Gwany memeluk adiknya, Zie,
yang masih berumur empat tahun dua bulan itu.
“Di mana Ibu, Zie?” tanya Gwany.
“Sedang
memasak, Kak Gwan,” jawab Zie. “Kak Gwan, Zie punya boneka baru, lho! Cantik.
Rambutnya kayak Kak Gwan,” ucap Zie dengan lugu.
“Oh, ya? Coba Kakak lihat,” pinta Gwany,
berusaha meladeni adiknya yang lucu ini.
Zie mengambil boneka barunya.
“Lihat, Kak. Rambutnya pirang, lurus, dan
panjang sepinggang. Mirip Kak Gwan! Hihihi....” Zie tertawa.
“Tapi, mukanya mirip kamu. Lucu dan imut! Nah,
Kak Gwan ke kamar dulu, ya, Sayang,” kata Gwany.
“Ya, Kak.”
Gwany segera menuju kamarnya. Ia meletakkan
tas di bawah meja belajar, mengganti baju, dan segera menuju dapur untuk makan
siang.
Tercium aroma sup daging yang sedang dimasak
oleh ibu.
“Nikmat!” celetuk Gwany.
“Wah, Gwany! Ibu telah menyiapkan sup daging
kesukaanmu. Kau pasti suka! Ibu juga menambahkan cabe rawit. Kausuka pedas,
bukan?” ujar ibu.
“Ya. Mmmm... Pasti enak sekali! Cepat, Bu. Aku
ingin segera makan. Aku lapar sekali!” pinta Gwany.
Saat sup daging buatan ibu selesai, Gwany
segera mencuci tangan dan makan dengan lahap.
Usai makan, Gwany meletakkan piring di tempat
cuci piring dan mencuci tangan. Kemudian ia mengambil stoples berisi biskuit
dan membawanya menuju kamar.
“Aku akan belajar,” gumam Gwany.
Ia duduk di meja belajar, meletakkan biskuit
di atas meja, mengambil buku Sejarah, dan pastinya belajar. Gwany belajar
dengan sungguh-sungguh, tetapi sambil makan biskuit, hihihi.... Itu supaya ia
tidak jenuh.
Tiap lima belas menit, Gwany istirahat sejenak
di kasur. Kemudian dia melanjutkan belajar lagi.
--
Hari-hari Gwany lalui dengan belajar, belajar,
dan belajar. Tetapi tidak lupa juga melakukan hal-hal menyenangkan untuk
sekedar bersantai, seperti menonton TV sekitar lima belas menit, atau bermain
sepeda, dan lain-lain.
Gwany tidak hanya belajar Sejarah, tetapi juga
Matematika, PKn, Ilmu Pengetahuan Alahm (IPA), dan berbagai pelajaran lainnya.
Nilai Gwany berangsur-angsur membaik. Nona
Carton sungguh senang dengan meningkatnya nilai Gwany.
--
Ulangan Sejarah akhirnya dilaksanakan juga.
Anak-anak yang kurang banyak belajar mengeluh. Sementara, anak-anak yang sudah
belajar dari jauh hari justru biasa saja.
Anice sebenarnya tidak belajar, karena ia
yakin akan mendapat nilai yang baik. Tetapi, wajahnya tidak menunjukkan wajah
cemas, tegang, atau semacamnya.
Gwany terlihat tenang-tenang saja karena ia
juga sudah belajar dengan sungguh-sungguh. Ia tersenyum tipis.
Soal ulangan Sejarah dibagikan oleh Nona
Carton.
“Nah, sekarang kalian boleh kerjakan ulangannya!”
seru Nona Carton.
Gwany mengerjakan soal ulangannya dengan
tenang. Semua bisa ia jawab dengan tepat. Sementara, Anice kelihatan bingung.
Dia sama sekali tidak belajar, sehingga ia kesulitan sekali menjawab soal
ulangan tersebut.
Saat waktu habis, semua mengumpulkan soal
ulangan yang telah mereka kerjakan. Anice kelihatan gugup. Oh.. takut sekali
ia!
--
“Anak-Anak, aku tadi telah mengoreksi ulangan
kalian. Ada yang berkembang sangat pesat, ada juga yang nilainya jauh merosot.
Aku akan membacakan nilai ulangan kalian semua,” kata Nona Carton di depan
kelas.
“Fartyan Mozze, mendapat nilai 78. Rynn
Magdae, 83. Himada, 53. John Sandy, 65. Peter Tire....” Nona Carton terus
membacakan nilai ulangan Sejarah anak-anak kelas 5Bravo.
“Anicia Marryn, 25.” Nona Carton melirik Anice
yang ternyata sangat kaget mendengar nilainya itu. Kemudian dengan sengaja,
Nona Carton membacakan nilai Gwany, “Gwanyzella Aston, 100!”.
Gwany terlonjak gembira. Hatinya begitu
senang. Tidak sia-sia perjuangannya selama ini. Oh, senangnya...!
Anak-anak kelas 5Bravo terkejut mendengar apa
yang dikatakan Nona Carton barusan. Nilai yang didapat Gwany... Nilai sempurna!
“Luar biasa!” seru Rynn.
“Great!” kata Hanna, salah satu murid
yang pandai.
“Keren sekali..”
“Menakjubkan!”
“Waw, nilai sempurna!!”
“Aku kalah...”
“Amazing! Hebat! Hebat! Hebat!”
Berbagai komentar dilontarkan oleh anak-anak
kelas 5Bravo. Yang mereka tahu, Gwany adalah anak yang pemalas dan sering
mendapat nilai buruk.
“Ma.. maaf, Nona Carton. Bisa saja, Anda salah
mengoreksi. Bisakah diperiksa lagi?” tanya Anice yang merasa heran dengan nilai
sempurna Gwany. Dia juga merasa malu, mengapa nilainya bisa jauh lebih rendah
daripada nilai Gwany?
“Tidak, Anice. Nilai kalian semua selalu
kukoreksi dua kali. Dan aku yakin, tidak ada kesalahan dari nilai sempurna yang
didapat Gwany. Dia telah bekerja keras dan belajar dengan sungguh-sungguh.
Benar, kan, Gwany?” Nona Carton berpaling pada Gwany.
“Mmm.. yy.. yaaa.. ya, Nona Carton.” Muka
Gwany memerah.
“Arrrrggghhh! Mengapa nilaiku bisa jauh lebih
rendah darinya?!” seru Anice. Ia memukul meja dan berdiri. Sungguh anak yang
tak tahu sopan santun.
“Itu karena kau sama sekali tidak belajar,”
jawab Nona Carton. “Benar, bukan?”
“Ah, memang iya. Tapi, seumur hidup, walau aku
tak belajar, aku tak pernah mendapat nilai seburuk ini, kautahu?!” bantah
Anice.
“Kau terlalu meremehkan orang yang lebih
rendah darimu, Anice. Dan kau juga terlalu meremehkan pelajaran. Kau terlalu
sombong. Aku ingin kausadari itu,” kata Nona Carton dengan tenang.
Anice tertegun. “Hhh.. maafkan aku, Nona
Carton,” ucap Anice yang kemudian kembali duduk.
“Jangan minta maaf padaku,” tolak Nona Carton.
“Minta maaflah kepada Gwany, karena kau telah bersikap kelewatan padanya. Dan
bilang kalau kau menyesal telah menghinanya selama ini.”
“A.. apa?!” seru Anice. “Ya, aku tahu, aku
memang salah. Gwany, maafkan aku. Aku begitu kelewatan. Aku telah mengejek,
menghina, dan meremehkanmu. Aku menyesal. Kini aku tahu, ternyata kaubisa lebih
pandai dariku. Kau adalah anak yang cerdas! Sekali lagi, maafkan aku.”
“Aku memaafkanmu, kok,” jawab Gwany sambil
tersenyum manis.
Sejak saat itu, Gwany dan Anice mulai
bersahabat. Mereka tidak lagi bermusuhan. Anice berjanji tidak akan menghina
teman-temannya lagi. Ah, semua berakhir dengan baik!
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Gimana menurut kalian? Membosankan? Kepanjangan? Aku menerima kritik dan saran kalian kok :) boleh dikirim lewat komentar post ini, atau lewat twitter ke @dita_syaharani, atau bisa juga lewat email ke dita.bieber.smith01@gmail.com.
Semoga dengan kriti
Thankyou.